Beranda | Artikel
Kaidah Ke-40 :Tidak Boleh Mendahulukan Ibadah Atau Kaffarah Sebelum Adanya Sebab Wujûb
Kamis, 19 November 2015

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Keempat Puluh

لاَ يَجُوْزُ تَقْدِيْمُ الْعِبَادَاتِ أَوِ الْكَفَّارَاتِ عَلَى سَبَبِ الْوُجُوْبِ وَيَجُوْزُ تَقْدِيْمُهَا بَعْدَ وُجُوْدِ السَّبَبِ وَقَبْلَ شَرْطِ الْوُجُوْبِ وَتَحَقُّقِهِ

Tidak boleh mendahulukan pelaksanaan ibadah atau kaffarah sebelum adanya sebab wujûb dan diperbolehkan melaksanakannya setelah adanya sebab wujûbnya sebelum ada dan terpenuhi syarat wajibnya.

MAKNA KAIDAH
Kaidah ini adalah salah satu di antara kaidah-kaidah penting dalam pembahasan fiqih. Namun sebelum lebih jauh menjelaskan kaidah ini, kita perlu memahami apakah yang dimaksud dengan sebab wujûb dan apakah yang dimaksud dengan syarat wujûb.[1]

Yang dimaksud dengan sebab wujûb dalam pembahasan ini adalah sesuatu yang menjadi poros kewajiban satu ibadah sehingga bolehnya mengerjakan suatu ibadah tergantung kepadanya. Sebagai contoh, keberadaan seseorang telah bersumpah sebagai sebab diperbolehkannya membayar kaffarah sumpah. Demikian pula telah masuknya waktu sholat yang pertama untuk kebolehan mengerjakan sholat yang kedua dalam sholat jama’.

Para ulama’ menjelaskan bahwa syarat terbagi menjadi dua, yaitu syarat wujûb dan syarat sah. Syarat wujûb adalah sesuatu yang menjadikan kewajiban mengerjakan suatu ibadah tidak sempurna kecuali dengan keberadaannya. Misalnya hints (melanggar sumpah) adalah syarat wujûb pembayaran kaffarah sumpah. Karena seseorang tidaklah wujûb membayar kaffarah sumpah sebelum ia melanggar sumpahnya. Demikian pula hilangnya nyawa si terbunuh merupakan syarat wujûb dibayarkannya kaffarah pembunuhan. Di mana pembayaran kaffarah ini menjadi wujûb dengan syarat hilangnya nyawa si terbunuh. Dan syarat wujûb inilah yang menjadi pembahasan dalam kaidah ini.

Sedangkan yang dimaksud dengan syarat sah adalah perkara-perkara yang menjadikan suatu ibadah tidaklah sah kecuali dengan keberadaannya. Seperti keberadaan thaharah untuk keabsahan sholat, dan keislaman untuk keabsahan segala macam ibadah. Meskipun asal ibadah tersebut telah wujûb meski tanpa keberadaan syarat ini. Di mana seseorang wujûb melaksanakan sholat meskipun tidak dalam keadaan thaharah, namun tidak sah kecuali dengannya. Demikian pula orang kafir wujûb melaksanakan ibadah-ibadah, namun tidak sah kecuali jika telah beragama Islam.

Dari dua macam syarat tersebut yang menjadi pembahasan dalam kaidah ini adalah macam yang pertama, yaitu syarat wujûb dan bukan syarat sah.

Perlu juga difahami bahwa pelaksanaan ibadah yang memiliki sebab wujûb dan syarat wajib, ada tiga keadaan:

  1. Ibadah itu dilaksanakan sebelum adanya sebab wujûbnya. Jika ibadah itu dilaksanakan sebelum ada sebab wujûbnya, maka tidaklah sah pelaksanaan ibadah itu, karena dilaksanakan sebelum waktunya. seperti sholat zhuhur sebelum masuk waktunya
  2.  Ibadah dikerjakan setelah ada sebab wajibnya namun sebelum terpenuhi syarat wujûbnya.. Jika dilaksanakan setelah ada sebab wajibnya namun belum terpenuhi syarat wujûbnya maka hal itu diperbolehkan
  3. Ibadah dikerjakan setelah keberadaan sebab dan syarat wujûbnya. Jika dilaksanakan setelah ada sebab dan syarat wujûbnya maka ketika itu pelaksanaan ibadah menjadi wajib.[2]

Imam Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Seluruh ibadah, baik yang berkaitan dengan amalan anggota badan atau berkaitan dengan harta, atau gabungan keduanya, tidak boleh dilaksanakan mendahului sebab wujûbnya. Dan boleh dilaksanakan setelah ada sebab wujûbnya sebelum terpenuhi kewajiban atau syarat wujûbnya.”[3]

DASAR KAIDAH INI.
Di antara dalil yang mendasari kaidah ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنِّي وَاللهِ إِنْ شَاءَ اللهُ لاَ أَحْلِفُ عَلَى يَمِيْنٍ فَأَرَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ كَفَّرْتُ عَنْ يَمِيْنِي وَأَتَيْتُ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ

Demi Allah, sesungguhnya tidaklah aku bersumpah dengan suatu sumpah kemudian aku melihat ada hal lain yang lebih baik darinya, kecuali aku akan membayar kaffarah atas sumpahku dan aku kerjakan hal yang lebih baik itu”[4] “

Syaikh Walid bin Rasyid As Sa’idan mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil atas bolehnya membayar kaffarah setelah sumpah dilaksanakan meskipun belum dilanggar. Menyelisihi pendapat yang melarangnya.[5]

Demikian pula hadits ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ahu :

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ الْعَبَّاسَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي تَعْجِيْلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ فَرَخَّصَ لَهُ فِي ذَلِكَ

Dari ‘Ali -radhiyallahu ‘anhu- sesungguhnya Abbas -radhiyallahu ‘anhu- pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mengeluarkan zakat sebelum waktu pembayarannya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkannya.[6]

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan pembayaran zakat setelah sempurna nishobnya meskipun harta itu belum berputar selama satu tahun. Hal ini menunjukkan bolehnya melaksanakan ibadah setelah ada sebab wujûbnya, meskipun syarat wujûbnya belum terpenuhi. [7]

CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Banyak contoh permasalahan baik berkaitan dengan ibadah maupun muamalah yang merupakan implementasi kaidah ini. Di antaranya adalah sebagai berikut :

  1. Apabila seseorang melanggar sumpahnya maka wajib baginya untuk membayar kaffârah (denda)[8]. Pembayaran kaffârah ini termasuk ibadah yang mempunyai sebab wujûb dan syarat wujûb. Keberadaan seseorang telah besumpah adalah sebab wujûbnya. Sedangkan keberadaan seseorang telah melanggar sumpahnya merupakan syarat wujûbnya. Maka, tidak boleh seseorang membayar kaffârah sebelum bersumpah, karena belum terpenuhi sebab wujûbnya.[9] Dan boleh membayarkannya setelah seseorang bersumpah sebelum melanggar sumpahnya, karena ketika itu telah terpenuhi sebab wujûbnya. Adapun jika ia telah melanggar sumpahnya maka ketika itu pembayaran kaffârah menjadi wujûb.[10]
  2. Berkaitan dengan menjama’ sholat, baik menjama’ sholat dzuhur dengan ashar atau maghrib dengan isya’. Seolah-olah waktu kedua sholat yang dijama’ tersebut menjadi satu sebagaimana telah dimaklumi di kalangan fuqaha’. Dalam hal ini, masuknya waktu sholat yang pertama merupakan sebab wujûb untuk mengerjakan sholat yang kedua. Sedangkan masuknya waktu sholat yang kedua merupakan syarat wajibnya. Maka tidak boleh mengerjakan sholat yang kedua sebelum masuknya waktu sholat yang pertama. Boleh mengerjakannya setelah masuknya waktu sholat yang pertama karena sebab wujûbnya telah terpenuhi. Adapun jika telah masuk waktu sholat yang kedua maka ketika itu hukumnya menjadi wajib.[11]
  3. Zakat adalah ibadah yang mempunyai sebab wujûb dan syarat wujûb. Sebab wujûbnya adalah keberadaan harta itu telah sampai nishob. Sedangkan syarat wujûbnya adalah keberadaannya telah dimiliki selama satu tahun (haul). Maka, tidak sah mengeluarkan zakat sebelum sampai nishob karena belum terpenuhi sebab wujûbnya. Diperbolehkan membayarkannya jika telah sampai nishob sebelum berlalu satu tahun, karena ketika itu sebab wujûbnya telah terpenuhi. Adapun jika telah sampai satu tahun maka ketika itu pembayarannya menjadi wajib.[12]
  4. Pembayaran kaffârah zhihâr[13] adalah suatu ibadah yang mempunyai sebab wujûb dan syarat wujûb. Sebab wujûbnya adalah keberadaan seseorang telah menzhihar isterinya. Sedang syarat wujûbnya adalah keberadaan si suami telah berniat untuk kembali kepada isterinya. Maka tidak sah pembayaran kaffârah sebelum zhihâr terjadi, karena ketika itu belum terpenuhi sebab wujûbnya. Boleh dibayarkan setelah terjadinya zhihâr sebelum si suami berniat kembali kepada isterinya, karena ketika itu sebab wajibnya telah terpenuhi. Adapun jika si suami telah berniat kembali kepada isterinya maka ketika itu pembayaran kaffârah menjadi wajib.[14]
  5. Pembayaran fidyatul adza[15] termasuk ibadah yang mempunyai sebab wujûb dan syarat wujûb. Sebab wujûbnya adalah keberadaan penyakit di kepala seseorang yang sedang dalam keadaan ihram haji atau umrah dan syarat wujûbnya ialah apabila seseorang telah mencukur rambutnya untuk mengobati penyakitnya itu. Jika seseorang membayar fidyah sebelum adanya penyakit di kepala, maka tidak sah pembayaran fidyah itu karena sebab wujûbnya belum terpenuhi. Jika dibayarkan setelah munculnya penyakit sebelum ia mencukur rambutnya maka pembayaran fidyah itu sah karena sebab wujûbnya telah terpenuhi. Adapun jika ia telah mencukur rambutnya maka pembayaran fidyah menjadi wajib.[16]
  6. Kaffârah (denda) pembunuhan mempunyai sebab wujûb dan syarat wujûb. Sebab wujûbnya adalah tikaman yang dilakukan si pembunuh. Sedangkan syarat wujûbnya adalah hilangnya nyawa si terbunuh. Oleh karena itu, tidak sah membayar kaffarah sebelum tikaman, karena belum terpenuhi sebab wujûbnya. Dan boleh membayarkannya setelah tikaman sebelum hilangnya nyawa si terbunuh, karena ketika itu sebab wujûbnya telah terpenuhi. Adapun jika nyawa si terbunuh telah hilang maka pembayaran kaffarah ketika itu menjadi wajib.[17]

Demikian pembahasan singkat kaidah ini. Semoga bermanfaat dan semakin menambah pemahaman kita akan kaidah-kaidah fiqih dalam agama kita yang mulia ini. Wallohu a’lam.[18]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Kaidah ini membahas ibadah-ibadah yang mempunyai sebab wujûb dan syarat wujûb. Adapun ibadah-ibadah yang tidak memiliki sebab wujûb, seperti puasa Ramadhan, sholat lima waktu yang tidak dijama’, dan semisalnya maka tidak masuk dalam pembahasan kaidah ini. (Lihat Talqîh al-Afhâm al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah ke-2)
[2]. Lihat Talqîh al-Afhâm al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah ke-2.
[3]. Taqrîr al-Qawâ’id wa Tahrîr al-Fawâ`id, al-Imâm al-Hâfizh Zainuddin Abdurrahmân bin Ahmad bin Rajab al-Hambali, Ta’liq Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salmân, Cet. I, Tahun 1419 H/1998 M, Dâr Ibni Affân li an-Nasyri wa at-Tauzi, Khubar, Jilid 1 Hlm. 24.
[4]. HR. al-Bukhâri dalam Kitab Kaffârat al-Aimân, Bab al-Istitsna’ fi al-Aimân, no. 6718. Muslim dalam Kitab al-Aimân, Bab Nadbi Man Halafa Yamînan fa Ra-a Ghairaha Khairan Minhâ An Ya’tiyalladzi Huwa Khair wa Yukaffiru ‘an Yaminihi, no. 1649.
[5]. Talqîh al-Afhâm al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah ke-2.
[6]. HR. at-Tirmidzi, no. 678. Abu Dâwud, no. 1624. Ibnu Mâjah, no. 1795. Hâkim (III/332). ad-Dârimi (1636). ad-Daruqutni, no. 212-213. al-Baihaqi (IV/111). Ahmad (I/104). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nâshiruddin Al Albâni dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 678.
[7]. Lihat Taudhîh al-Ahkâm, Syaikh Abdullâh bin Abdurrahmân al-Bassâm, Cet. V, Tahun 1423 H/2003 M, Maktabah al-Asadiy, Makkah al-Mukarramah, Hal. 331.
[8]. Kaffârah sumpah dibayarkan dengan memberi makan kepada sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka, atau membebaskan seorang budak mukmin, atau puasa tiga hari, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Mâidah : 89. (Lihat Minhâj al-Muslim, Syaikh Abu Bakr Jâbir Al Jazâiri, Tahun 2002, Dar Ibni al-Haitsam, Kairo, Hlm. 400).
[9]. Jika kaffârah itu dibayarkan sebelum terpenuhi sebab wajibnya maka itu terhitung sedekah biasa saja dan tidak sah sebagai kaffarah. (Lihat al-‘Aqdu ats-Tsamîn fi Syarh Manzhumah Syaikh Ibni ‘Utsaimîn, Syaikh Khâlid bin ‘Ali al-Musyaiqih, Penjelasan bait ke-33).
[10]. Lihat Taqrîr al-Qawâ’id wa Tahrîr al-Fawâid, al-Imam al-Hâfizh Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hambali, Ta’liq Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman, Cet. I, Tahun 1419 H/1998 M, Dar Ibni Affan li an-Nasyri wa at-Tauzi, Khubar, Jilid 1 Hlm. 28.
[11]. Talqîh al-Afhâm al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah ke-2.
[12]. Lihat Tuhfatu Ahli at-Thalab fi Tahrîr Ushul Qawâ’id Ibni Rajab, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di, Tahqiq Dr. Khâlid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Cet. II, Tahun 1423 H, Dâr Ibni al-Jauzi, Damam, Hlm. 6.
[13]. Zhihâr adalah jika seorang suami menyatakan bahwa isterinya haram atasnya, dengan mengatakan, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku”, atau ucapan semisalnya. Seorang suami yang telah menzhihar isterinya, lalu ingin kembali kepada isterinya maka harus membayar kaffarah dengan membebeskan seorang budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan kepada enam puluh orang miskin sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Mujâdilah : 3-4. (Lihat Minhâj al-Muslim. Syaikh Abu Bakr Jâbir al-Jazairi. Tahun 2002 M. Dâr Ibnu al-Haitsam. Kairo. Hal. 358).
[14]. Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawâ’idihi, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, Cet. I, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hlm. 143-144.
[15]. Fidyatul adza adalah fidyah yang dibayarkan karena seseorang mencukur rambutnya dalam rangka pengobatan sakit yang ada di kepalanya sedangkan ia dalam keadaan ihram haji atau umrah. (Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Cetakan Kedua, 1404 H/1983 M, Wizarah al-Auqaf wa as-Syu-un al-Islamiyah, Kuwait, Jilid 2 Hlm. 158.
[16]. Lihat Tuhfatu Ahli at-Thalab fi Tahrîr Ushul Qawa’id Ibni Rajab, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di, Tahqiq Dr. Khâlid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Cet. II, Tahun 1423 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hlm. 6.
[17]. Talqih al-Afham al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah ke-2.
[18]. Diangkat dari al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Cet. II. 1422 H/2001 M, Dar al-Wathan li an-Nasyr, Riyadh, Hlm. 91. Dengan beberapa tambahan dari referensi lainnya.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4239-kaidah-ke-40-tidak-boleh-mendahulukan-pelaksanaan-ibadah-atau-kaffarah-sebelum-adanya-sebab-wujub.html